Canting
Judul: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 406
Canting adalah alat untuk mengambil cairan yang khas digunakan untuk membuat batik tulis. Menurut sejarah, seni membatik berawal dari tanah Jawa. Kegiatan membatik memerlukan keterampilan yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan pada masa itu. Itulah sebabnya jaman dahulu kegiatan membatik adalah pekerjaan ekslusif bagi kaum perempuan. Namun sejak ditemukannya batik cap maka pekerjaan ini tidak hanya memberi ruang bagi kaum lelaki tetapi juga menggeser keberadaan batik tulis.
Arswendo, sang penulis dengan jeli melihat fenomena ini. Ia menuliskan kisah roman sebuah keluarga dengan menggali unsur budaya Jawa melalui canting.
Raden Ngabehi Sestrokusuma atau Pak Bei adalah seorang bangsawan Jawa pemilik pabrik batik yang diberi cap Canting. Istrinya adalah seorang bekas buruh batik. Bu Bei adalah gambaran wanita Jawa. Kebahagiannya adalah memberikan bekti yang tulus kepada suami.
Tuginem, nama asli Bu Bei, sejak ia kecil ia telah tinggal di rumah Ngabean bersama orang tuanya. Ia juga bisa membatik. Ketika Raden Ngabehi Sestrokusumo, putra sulung Ngabean meminangnya, ia masih berumur empat belas tahun. Priyayi. Ia akan menjadi seorang priyayi, yang akan mengangkat derajat orang tua, leluhur serta seluruh desa tempatnya berasal. Orang memanggilnya dengan Bu Bei, dan kelak ia akan bisa memilihkan nama yang bagus untuk anak-anaknya.
Tahun pertama lahirlah Wahyu, putra sulung kecintaan Bu Bei. Disusul kemudian dengan Lintang, Bayu, dan Ismaya. Pada masa itu Pak Bei dikabarkan memiliki selir. Dua tahun kemudian lahir Wening. Kelahiran Wening membuat sebuah perubahan, Pak Bei mulai kerasan di rumah. Sebelas tahun Wening menjadi bintang keluarga sebelum kemudian adiknya Subandini lahir. Kelahiran Subandini alias Ni memunculkan bermacam pertanyaan yang berkelindan di benak Pak Bei. Ni tumbuh menjadi gadis yang berbeda dengan kakak-kakaknya. Jiwanya mewarisi roh Pak Bei seutuhya, itulah yang diam-diam kemudian membuat Pak Bei sangat menyayangi putri bungsunya ini.
Keputusan Ni untuk mengurusi usaha pembatikan milik keluarga alih-alih mengikuti suaminya pindah ke Batam merupakan pukulan bagi sang Ibu. Ni ingin mengangkat keberadaan pabrik batik Canting yang perlahan tergeser oleh kemunculan pabrik batik printing. Ni ingin berbuat sesuatu untuk mbok Tuwuh, Pak Jimin, dan buruh-buruh batik lainnya yang telah bekerja keras selama ini sehingga ia dan keluarganya hidup terhormat. Sejak kecil Ni dekat dengan para buruh itu. Bagi Ni, mereka tidak hanya sekedar bekerja tetapi mereka mengabdi. Ni merasa bersalah kalau ia tidak peka, kalau ia mendiamkan saja.
Ni tak menyadari bahwa keputusannya untuk mengurusi batik adalah sesuatu hal yang sangat ditakuti oleh sang Ibu. Malam itu Bu Bei dilarikan ke rumah sakit karena tensi dan gula darahnya yang tinggi. Sepeninggal Bu Bei, Ni tetap pada niatnya semula, mengurusi pabrik batik agar para buruh memiliki pekerjaan yang menjadi kebanggaan dan kebahagiaan bagi mereka.
Namun membangkitkan usaha batik tulis tidaklah semudah yang ia bayangkan, terutama menghadapi gempuran pasar dari batik printing yang harganya lebih murah. Ni nyaris putus asa, ketika akhirnya ia menyadari bahwa untuk bisa bertahan maka perusahaan batik miliknya harus melebur diri. Memuji keagungan masa lalu ataupun memusuhi pesaing bukanlah cara untuk bisa bertahan hidup.
Melalui para buruh batik Ni belajar tentang nilai-nilai hidup. Pengabdian, tidak menuntut pengakuan, dan kepasrahan adalah sikap mental yang diperlukan untuk tetap bisa menghadapi dunia dengan segala perubahannya.
“Dalam pasrah tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri sendiri.” (halaman 283)
0 komentar:
Posting Komentar